Thursday, March 12, 2009

Guru Swasta, Haruskah Di-Anak-Tiri-kan?

Diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta terjadi karena ada paradigma bahwa guru PNS lebih baik dari guru swasta. Namun anggapan ini tidak selamanya benar. Karena telah banyak sekolah swasta yang dibina guru swasta, namun kualitasnya dapat disejajarkan dengan sekolah Negeri. Oleh karenanya sudah selayaknya guru swasta haknya disetarakan dengan guru PNS.

Kebijakan pemerintah untuk mendongkrak kualitas pendidikan, perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya. Peningkatan anggaran untuk alokasi pendidikan semakin terlihat dari tahun ke tahun. Bahkan dalam Undang-undang telah di patok 20 % dari APBN agar dialokasikan untuk pendidikan, walaupun amanat ini belum terlaksana sepenuhnya.

Guru sebagai ujung tombak pendidikan memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Karena mustahil akan dihasilkan out put pendidikan berkualitas jika guru kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian menunjukkan belum banyak guru yang memenuhi standar (baca: belum layak ). Sehingga tidak mengherankakn jika produk pendidikan di negara kita belum mampu menjawab tantangan jaman. Menurut hasil penelitian pula rendahnya kualitas guru antara lain masih banyaknya guru yang belum beijazah S1, minimnya up date ilmu guru, dan yang tidak kalah penting adalah kualitas lulusan para peserta didik. Namun hal ini tidak hanya dari faktor guru saja, melainkan sistem yang ada menjadi penyebab utama kualitas pendidikan terpuruk.

Untuk menjamin kualitas pendidikan maka profesionalisme guru merupakan suatu keharusan. Apakah semua guru dapat memenhui tuntutan tersebut ?. Ketika pemerintah dan masyarakat membahas profesionalisme guru, guru sendiri masih umek memikirkan makan anak dan isterinya. Karena penghasilan yang diterima sebagai guru tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok, terutama guru GTT (guru tidak tetap). Tidak sedikit guru yang nyambi profesi lain atau malah mengajar hanya untuk sambian saja. Pagi hari mengajar, begitu jam mengajar habis, ada yang ngojek, mengayuh becak, jualan keliling, dan sebagainya. Bu Emi (nama samaran) adalah salah satu guru GTT sekolah swasta di Surabaya dengan gaji per bulannya hanya Rp. 54.000, beliau mempunyai 2 anak sudah sekolah, sedangkan suaminya kena PHK. Beliau hanya mengajar satu sekolah. Meski demikian beliau rajin mengajar dan tidak mengeluh. Ini adalah sebuah gambaran betapa masih rendahnya kesejahteraan para guru. Sebenarnya beliau ingin sekali meng- upgrade ilmunya, tetapi setiap kali ada seminar / whorkshop ternyata syaratnya harus bayar sekitar Rp. 200.000,- .Setelah baca iklan ada whorkshop guru kemudian ditanyakan kepada panitia beliau hanya bisa tersenyum kecut.

Melihat kondisi para guru yang sebagian besar semakin memprihatinkan, nampaknya pemerintah tidak menutup mata. Sedikit demi sedikit nasib para guru diangkat. Beberapa tahun yang lalu disyahkan Undang-undang Guru dan Dosen sebagai payung hukum. Kebijakan tersebut membuat guru bernapas lega dan tersenyum lebar. Meskipun pelan pemerintah beri’tikad baik mulai melaksanakan Undang-undang Guru dan Dosen dengan pemberian tunjangan fungsional, uang transportasi, dan tunjangan profesi (setelah dinyatakan lolos sertifikasi).

Kebikajan pemerintah ternyata masih menyisakan masalah yakni pemerataan. Pemberian tunjangan pungsional dan tunjangan yang lain dengan syarat harus mengajar minimal 18 jam. Aturan ini jelas mengakibatkan guru swasta dengan jumlah rombel sedikit hanya mlongo tidak mendapat apa-apa. Karena jumlah jam mengajarnya sedikit. Akhirnya guru seperti bu Emi yang hanya kebagian mengajar 8 jam per minggu tidak tersentuh sama sekali oleh tunjangan-tunjangan yang ada. Kalau demikian berlakulah syairnya Rhoma Irama “ Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin” . Guru GTT yang jam mengajarnya sedikit tentu gajinya lebih sedikit, kok malah tidak dapat tunjangan ?. Apakah mungkin bu Emi dengan pendapatan sebesar itu dituntut professional ?. Padahal di Indonesia masih banyak sekali guru senasib dengan bu Emi. Sementara guru yang jumlah mengajarnya banyak, pasti gajinya lebih besar, tetapi malah dapat tunjangan.

Mungkin pemerintah bisa berdalih, silahkan guru sambil mengajar disekolah lain agar memenuhi 18 jam. Anjuran ini bukanlah sebuah solusi, karena dengan diterapkan kurikulum baru, jam pelajaran masing-masing sekolah otomatis berkurang. Bahkan ada sekolah yang mungkin terpaksa mem-PHK gurunya. Lagi pula jika guru diterima disekolah lain yang tempatnya cukup jauh dari sekolah asal proses pembelajaran tidak berjalan efektif.

Kalau kita cermati lagi kebijakan pemerintah tentang sertifikasi menimbulkan diskriminasi antara guru swasta dan guru pegawai negeri sipil (PNS). Kuota sertifikasi diberikan jatah lebih sedikit bagi guru swasta. Mengapa guru swasta yang mayoritas gajinya lebih sedikit diberi kesempatan lebih kecil untuk bersaing ?.

Sertifikasi sebenarnya adalah sebuah filter untuk menghasilkan guru yang benar-benar memenuhi standar minimal. Mestinya siapa saja, termasuk guru swasta diberi kesempatan sama untuk bersaing. Tidak perlu pakai kuota PNS dan swasta, sehingga terjadi proses seleksi alam. Dengan demikian kesempatan untuk menang adalah sama. Jika pintu sertifikasi dibuka lebar bagi guru PNS, mengapa dengan guru swasta tidak ?

Diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta terjadi karena ada paradigma bahwa guru PNS lebih baik dari guru swasta. Namun anggapan ini tidak selamanya benar. Karena telah banyak sekolah swasta yang dibina guru swasta, namun kualitasnya dapat disejajarkan dengan sekolah Negeri. Oleh karenanya sudah selayaknya guru swasta haknya disetarakan dengan guru PNS.

Jika kondisi ini tidak segera di carikan solusi maka stigma guru swasta sebagai guru nomor dua akan sulit terhapus. Hal ini akan menambah beban psikologis bagi guru swasta. Akibatnya guru swasta benar-benar akan terganggu konsentrasinya untuk meningkatkan profesionalimenya. Penulis berharap pemerintah membuat sistem memenhuhi asas keadilan. Mudah-mudahan ke depan tidak terjadi ketimpangan status sosial antara guru PNS dan guru swasta. Mengingat guru swasta juga bertanggung jawab mencerdaskan anak bangsa.


Oleh:
Karyadi, S.Pd.
- Wakil Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Surabaya
- Guru SMP Negeri 13 Surabaya

No comments:

Post a Comment